Menurutku mengucapkan kata maaf itu sulit apalagi bila menurut kita tak salah. Namun hal tersebut tidak buat seorang anak tuna grahita yang aku kenal di kampusku.
Cerita bermula ketika aku usai kuliah mata kuliah antropologi pendidikan. Hari itu sangat panas, karena memang Sidoarjo sedang mengalami puncat panas-panasnya. Segera aku dan teman-teman segenk.ku menuju kantin SLB yang ada di belakang kampusku.
Suasana kantin saat itu memang sepi, yang ada hanya beberapa anak berkebutuhan khusus yang kebetulan memang tinggal di kantin itu. Dari beberapa ABK tersebut udah ada yan aku kenal, seperti Vivi dan Heri. Kedua-duanya merupakan anak tuna grahita. Heri berusia 16 tahu dean vivi berusia 14 tahun.
Karena udah gak tahan untuk menahan hausku aku langsung memesan segelas es dan merangsek duduk di bangku kosong sebelah Vivi. Tanpa aku duga, Vivi tiba-tiba saja membentakku. Dia minta aku pindah tempat duduk karena bangku tadi ia gunakan untuk meletakkan tasnya. Hah ??? ne anak serakah banget sih. Aku yang gak terima langsung aja naroh tasnya di tempat lain. Tapi Vivi masih ngotot banget naruh tasnya di bangku yang tak duduki. Tapi aku pura-pura gak debger dia ngrengek agar aku pindah tempat duduk.
Yess ! batin ku berkata. Akhirnya Vivi diam aja. Gak lama kemudian Vivi berkata padaku sambil mengulurkan tangannya
“Maaf ya. . .” kata Vivi
Aku tersentak kaget dengan kata-kata Vivi. Harusnya aku yang harus ngalah ma dia , tapi dia dengan lapang dada minta maaf ke aku. Sumpah aku ngrasa malu banget saat itu. Aku yang ngaku-ngaku calon Guru SLB malah gak bisa ngertiian apa yang anak-anak rasain dan gak bisa ngalah ma mereka. Sumpah aku ngrasa kalah n malu. .
Mulai saat itu aku mulai belajar untuk berbagi dan mulai memahami anak-anak berkebutuhan khusus. Hemm . . paling gak aku harus bisa mengalah untuk hal-hal yang kecil buat anak -anak khususnya anak tuna grahita. Karena mereka juga sama seperti kita, mereka punya perasaan dan punya rasa bersalah.