Sejak SMA saya sudah ‘anti’ dengan yang namanya filsafat. Jangankan berfilsafat, mendengar kata-kata filsafat-pun saya sudah pusing duluan. Entah kenapa, menurut saya filsafat itu hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki intelegensi di atas rata-rata. Dan kebanyakan (dari yang saya lihat dan perhatikan) para filusuf itu orangnya aneh-aneh, gak lazim, dan arah pembicaraannya selalu berputar-putar, gak langsung pada intinya. Ditambah lagi, di awal-awal kuliah saya mendapat mata kuliah filsafat ilmu yang bukannya membuat saya tertarik malah membuat saya semakin bingung dengan hal-hal yang berbau filsafat. Sumpah, tiap kali dosen mengajar tentang Filsafat ilmu yang ada di otak saya hanyalah ingin sekali pulang dan tidur di kost, malas berpikir yang rumit-rumit. Alhasil, akhir semester pengetahuan saya tentang filsafat ‘nol putung’ nggak dapet apa-apa. Dan kelulusan mata kuliah filsafat ilmu saya perlu dipertanyakan kembali *hehehe…
Namun, pendapat saya tentang filsafat berubah 180 derajat semenjak saya membaca buku Fahd Djibran yang berjudul Cat In My Eyes, Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa. Buku ini merupakan kumpulan sketsa, prosa, dan cerita seperti puzzle yang mengajak pembacanya untuk mencari makna dari sejumlah pertanyaan yang mungkin terdengar klise namun sangat penting seperti ; apa itu hidup ? apa itu cinta? apa itu Tuhan ? Pada awalnya saya tak menganggap buku ini berbau filsafat atau sebagainya. Yang saya tahu buku ini sangat luar biasa karena berani meninjau ulang kelaziman. Hingga pada suatu hari (sebenarnya saya benci menggunakan kata-kata ini), saya bercerita tentang isi buku tersebut pada salah satu teman. Ditengah-tengah antusiasme bercerita, teman saya itu menceletuk “aduh Riz, gak kuat diriku kalau kamu ajak berfilsafat ria”. Sontak saya terkejut, ternyata yang seperti tadi itu bisa dikatakan berfilsafat toh.
Dari situlah saya mulai rajin menggali tentang makna filsafat. Terkadang saat waktu senggang saya searching di salah satu search engine tentang apa itu filsafat, bagaimana berfilsafat yang baik, siapa-siapa saja filusuf terkenal dunia, mengapa harus berfilsafat dan lain sebagainya. Beberapa buku-pun sudah menjadi objek pencariaan saya tentang filsafat. Mulai dari buku kuliah semester awal Filsafat Ilmu Made Pramono, hingga buku Kunto Wibisono Karakteristik Berpikir Filsafat yang saya pinjam dari perpustakaan daerah saya (maklum saya tidak memiliki budget khusus untuk buku tersebut) sudah khatam demi memuaskan rasa penasaran saya pada makhluk bernama ‘filsafat’ ini..
Garis besar dari pencarian saya tersebut, bahwa
Filsafat merupakan pencarian sikap kritis terhadap sesuatu hal dengan memahami soal sampai seakar-akarnya. Berfilsafat itu juga berarti perenungan yang mendalam terhadap sesuatu, misalnya terhadap lingkungan, kehidupan masyarakat, relasi dengan sesama, dll. Dengan kata lain, filsafat adalah proses upaya berpikir kritis manusia terhadap suatu fenomena kehidupan sehari-hari.
(diambil dari buku Realitas dan Objektivitas ; Refleksi kritis atas cara kerja ilmiah, ditulis oleh Dr. Irmayanti M. Budianto, Wedatama Widya Sastra 2005)
Secara historis, filsafat menempati poisisi penting bagi kemunculan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena itu filsafat . Istilah filsafat bisa dilacak etimologinya dari istilah Yunani philoshophia yang terbentuk dari dua akar kataya, yakni : philien (mencintai) dan sophos (bijaksana). Sehingga dari situ bisa kita maknai bahwa filsafat merupakan kegiatan mencari suatu kebenaran melalui proses berpikir manusia. Kemudian, ilmu filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksif, integral, radikal, logis, sistematis, dan universal.
Adapun problem-problem filsafat adalah ; (1) Ontologi ; mengkaji keberadaan sesuatu, membahas tentang “ADA” yang dapat dipahami baik secara konkret, factual, transdental ataupun metafisis. (2) Epistemologi ; membahas pengetahuan yang akan dimiliki manusia apabila manusia itu membutuhkannya. (3) Aksiologi ; membahas kaidah norma dan nilai yang ada pada manusia.
Masih membingungkan memang, akan tetapi filsafat bukanlah sesuatu yang aneh yang bisa membuat pelakunya menjadi ‘aneh’. Beberapa terlihat seperti itu karena mereka berbeda, berpikir lebih dalam dari pada kita sehingga pembicaraannya terkadang seperti gak nyambung. Tanpa kita sadari, sebenarnya kita juga sering berfilsafat dalam hidup ini. Cara kita memandang dan berfikir pada masalah yang kita hadapi itu-pun termasuk dalam kategori berfilsafat, meskipun terkadang kita tidak melakukannya secara mendalam.
Sesekali waktu kita juga perlu berfikir secara mendalam pada hidup kita. Kita perlu sesekali merenungi sejauh mana hidup kita, apa, mengapa, bagaimana, misal ; Sudahkah saya bermanfaat untuk hidup saya, orangtua saya, keluarga, masyarakat, bangsa dan agama ?
Akan tetapi, janganlah terlalu jauh mempertanyakan sesuatu, karena bisa berbahaya. Seperti yang saya katakan, yang namanya “TERLALU” itu bermakna negatif. Banyak saya lihat kasus orang-orang yang terlalu berfilsafat dan mempertanyakan hidupnya, menjadi seorang yang gila bahkan menjadi tak ber-Tuhan. Na’udzubillah.
Belajar filsafat pada akhirnya saya pahami secara lebih baik (ini menurut saya), sebagai suatu cara untuk memperoleh pemahaman baru mengenai realitas (yang ada), menemukan wawasan-wawasan baru, memperoleh pencerahan serta kebenaran baru. Secara ringkas belajar berfilsafat adalah untuk memperoleh pemahaman atau memahami dunia dan diri kita sendiri. Dengan demikian, kita harus siap untuk mengubah atau mengganti kepercayaan-kepercayaan atau asumsi-asumsi kita ketika kita memperoleh suatu pemahaman baru yang lebih baik. Kelapangan hati untuk menerima hal yang berbeda-beda juga sangat diperlukan dalam berfilsafat. Kita juga harus siap untuk menerima bahwa tidak setiap pertanyaan memiliki jawaban dalam filsafat. Namun bukan berarti hal tersebut bisa dijadikan alasan untuk kemudian kita berdiam diri dan tak mencari jawaban dari pertanyaan yang ada. Pada hakikatnya kita berfilsafat seiring dengan helaan nafas kita.
Jadi teruslah bertanya (berfilsafat), sebab seperti kata Socrates, “hidup yang tidak pernah dipertanyakan, sesungguhnya adalah hidup yang tak pernah layak untuk diteruskan”. Sampai disini, hanya ada satu pertanyaan yang mungkin : Bertanya atau mati ?! –nury dalam sebuah perenungan—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar