Ini sudah minggu kedua aku mengenakan jilbabku. Keputusan yang sebenarnya kuambil tidak terlalu tergesah-gesah, karena sebelumnya sudah jauh-jauh hari kupikirkan tentang mengenakan jilbab. Sebenarnya ini bukan kali pertama aku mengenakan jilbab.
Sekedar menengok sosok diriku lima tahun lalu *memutar ingatan, saat aku pertama kali memutuskan untuk masuk kesebuah Sekolah Menengah Atas yang berbasiskan agama, aku diwajibkan mengenakan jilbab karena begitulah peraturannya. Tidak mengenakan jilbab, haram hukumnya untuk sekolah di sana. Bahkan kabar terakhir lingkungan sekolahku kini menjadi lingkungan wajib berjilbab, tak perduli siswa atau bukan wanita harus mengenakan jilbab *minimal menjaga kesopanan berpakaian.
Selama berada di sekolah tersebut aku mulai membiasakan diri untuk mengenakan jilbab, meski terkadang tiap hang out bersama teman-teman, jilbab untuk sementara kutinggal di rumah. Begitulah aku, mengenakan jilbab dikarenakan peraturan yang mewajibkan.
Lulus SMA, mulai terjadi kegamangan tentang mengenakan jilbabku. Aku yang saat itu telah terdaftar di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya, dihadapkan pada dua pilihan. Terus mengenakan jilbab saat Kuliah atau menanggalkannya. Sebenarnya itu pilihan yang mudah, mengingat aku yang sejak awal mengenakan jilbab hanya karena peraturan sekolah, aku bisa saja memilih menanggalkan jilbabku, toh mengenakan atau tidak sama saja tidak mengenakan jilbab bagiku, Karena aktivitas selain yang berhubungan dengan sekolah aku tak mengenakan jilbab. Selain itu ayahku memberiku kebebasan untuk memilih dan Ibuku memiliki pemikiran yang sama denganku.
Namun, Keinginanku untuk menanggalkan jilbab harus terbentur dengan pandangan masyarakat dan intervensi dari si pacar. Yang ada di kepalaku saat itu adalah bagaimana pandangan tetangga, guru-guru dan teman-temanku bila aku menanggalkan jilbab ? Pasti mereka akan kecewa. Trus pasti aku bakal dapat kecaman keras dari si pacar yang kebetulan keluarganya memiliki fondasi agama yang kuat. Akhirnya, berjilbab adalah harga mati untukku saat itu. Lagi-lagi aku mengenakan jilbab *hanya saat kuliah saja hehe*, bukan karena ingin hatiku tapi untuk orang lain.
Satu setengah tahun yang lalu, aku mengambil sebuah keputusan yang tidak biasa, keputusan yang bias menjadi skak mat buat pencitraanku. Aku memilih melepas jilbabku. Hal itu kulakukan semata-mata karena aku lelah mengikuti kata orang lain, karena aku lelah menjadi palsu. Bersembunyi di balik jilbabku, dan bilang aku orang baik. Pemikiranku tentang jilbab saat itu berbalik 180 derajat. Mengenakan jilbab bagiku bukanlah sekedar memasang sehelai kain sebagai punutup kepala. Jilbab lebih daripada itu. Jilbab itu seperti sebuah perinsip tentang hidup, tentang pencitraan diri. Disaat kau mengenakan jilbab disaat itupula-lah bukan hanya tubuhmu yang tertutupi dan jauh dari hal buruk, begitu juga perkataanmu, perbuatanmu dan bahkan hatimu.
Jilbab terlalu indah bila harus kau kotori dengan perbuatan tercela. Dan aku belum memiliki kesiapan untuk benar-benar melakukannya. Aku tak mau menjadi bahan gunjingan orang-orang seperti yang bisanya bilang seperti ini “krudungan kok pencilakan, gak isin karo krudunge” (pake jilbab kok banyak tingkah, gak malu sama jilbabnya). Nah.. daripada aku jadi bahan omongan yang menjadikan sumber dosa, mending aku menanggalkan jilbabku hingga hatiku benar-benar siap mengenakannya meski itu mempertaruhkan harga diriku.
Akan tetapi dua minggu yang lalu, aku diperingatkan lewat mimpi dan ingatanku tentang jilbab. Malam itu aku bermimpi tak tahu darimana awalnya *bukankah mimpi emang seprti itu*, seorang anak menarik rambutku yang selama ini kujaga keindahannya *seperti iklan shampoo hehe. Lama-kelamaaan tarikan anak tersebut semkain kuat, dan sakit mulai menjalar di ubun-ubunku. Aku berteriak sekencang mungkin, meronta-ronta minta di lepaskan, namun anak tersebut malah ketawa-ketawa gak jelas mirip film horror. Dari situ aku mengambil kesimpulan sendiri, mungkin aku di peringatkan untuk gak mengumbar rambutku kemana-mana *pengambilan kesimpulan yang seenaknya :-P*
Kemudian tiba-tiba aku diingatkan pada kenangan berapa belas tahun yang lalu, aku diingatkan pada sosok rizka kecil yang merengek minta di pondokkan, rizka kecil yang suka bermain dengan jilbab ibunya. Dari situlah aku disadarkan, pilihan mengenakan jilbabku sudah dari awal aku yang membuat dan pilihan itu sudah kuambil sejak dari dulu. hanya mungkin waktu pelaksanaannya sajalah yang harus tertunda.
Dan inilah aku yang sekarang, setelah menjalani istikharahku dan tidak mengindahkan intervensi dari luar, aku memasang kembali jilbabku yang sempat kutinggalkan. Keputusan mengenakan jilbab ini tidak seperti dahulu. Bukan karena si pacar, keluarta pihak instansi atau masyarakat manapun. Tidak hanya untuk saat tertentu saja yang kemudian di waktu lain aku bisa melenggang tanpa mengenakan jilbab. Keputusanku mengenakan jilbab kali ini murni kata hatiku, tiba-tiba saja aku diberi kesiapan. Meski aku tahu akan ada orang yang bilang aku plin-plan atau tak punya prinsip, aku tak peduli. Mengenakan jilbab kini menjadi urusanku dan Raja Semesta saja. Biar aku dan Dia saja yang mengetahui. Bukankah dari awal kita sudah diberi kebebasan memilih ? Dan kini aku bebas memilih jalanku dan prinsipku.
Mungkin aku harus tetap belajar, belajar dan belajar agar bisa beristiqomah dengan jilbabku ini. Bukan tidak mungkin akan ada halangan dan rintangan selama perjalananku ini. Mungkin dari luar maupun diriku. Namun aku berjanji pada diriku sendiri dan Raja Semesta, keputusan ini bukan sementara tapi selamanya. Semoga.
Bagaimana cerita kalian dengan jilbab kalian ??? –nury-